Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jember Rampak Ujung Gethekan Pertunjukan Publik Otak Batu


Sigerindo Jember - Senen 30/12/19 Dalam ruang medsos semacam.facebook, tulisan karya Ikwan Setiawan ini terlalu sarat perenungan dan telaah hikmah hikmat, ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmu, atas apa saja yang diceritakan dan apa saja yang hendak di angkatnya secara aktual, namun nyaman untuk di baca dan dikonsumsi bagi para pembaca yang masih punya rasa ingin tahu, berniat tetap mengasah daya nalar penelusuran nilai sarat makna kehidupan ini secara berimbang dan bermanfaat, hingga para perenung dan penelaah bidang seni sastra budaya otentik, aktual, serta mampu bergumul dengan sinaran dan kepekaan rasa rasa kehadiran dari kenyataan lokalitas denyut kewilayahan kawasan dan bioregion yang kita pedulikan dan kita cintai secara sadar dan tak sadar, dalam diri kita masing masing, Tulisan Ikwan Setiawan ini bisa juga Serentak Menjadi Narasi Penghantar   untuk penonton dan pembaca, agar mereka setidaknya mengerti apa yang dimasudkan dalam GERAK DIAM - GERAK BAKTI Pertunjukkan SI OTAK BATU Kang CIMOT INI, sekaligus merupakan media dan mediasi panggilan untuk karya karya narasi keren dari siapapun yang terpanggil untuk menghantar Pementasan Jenis Seni Sastra Budaya Teater Pertunjukkan KeBERTUBUHAN ini. [Guntur Bisowarno, Teater Dempo 1985 - 1990, Sastrawan Manusia Sastra Budaya Canggih, 30/12/19

Adapun Tulisan Narasi Pengantar Cak Ikwan Setiawan, Seorang Peneliti dan Dosen di Faculty of Humanities University Jember Indonesia, sebagai berikut

Saya mengenal Suharsono alias Sony CIMOT sejak kuliah S1 di Fakultas Sastra Universitas Jember (kini Fakultas Ilmu Budaya). Salah satu yang melekat dalam ingatan saya adalah kemampuannya untuk menggarap teater eksperimental dengan gerak, olah tubuh, dan ekspresi lisan khas. Kami seringkali "berdebat" terkait konsep pertunjukan yang ia usung bersama para mahasiswa dan siswa SMA binaannya. Saya seringkali mengatakan bahwa pertunjukannya begitu menyiksa bagi para siswa. Namun, ia berargumen itu semua merupakan "pilihan estetik dan konsep pertunjukan" dengan maksud-maksud tertentu

Terlepas dari perbedaan pemahaman tersebut, saya selalu menaruh respek untuk komitmen lelaki asal Banyuwangi yang dulu menggeluti dunia stiker, sablon dan cinderamata itu. Selalu ada kecintaan terhadap kesenian dan budaya. Itulah yang membuat saya bisa "nyambung batin" dengannya. Di tengah kesibukannya ngajar di salah satu SMA swasta di Jember dan Universitas Terbuka serta berdagang barang antik di belakang Matahari Johar Plasa, CIMOT masih menyempatkan diri melatih teater dan ngluyur untuk nyambangi seniman ludruk, jaranan maupun macapat

Kami bertemu kembali di Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) di bawah kepemimpinan Mas Eko Suwargono. Di tengah-tengah minimnya dukungan Pemkab Jember terhadap lembaga yang SK-nya ditandatangani Bupati Faida, CIMOT adalah satu di antara sedikit pengurus yang masih bertahan dan memperjuangkan komitmen untuk membersamai para seniman, melakukan kerja-kerja seni dan budaya. Seringkali ia meledak-ledak ketika mendapati realitas minimnya perhatian Pemkab terhadap nasib seniman. Namun, pengurus DeKaJe lainnya selalu mengingatkan agar ia melakukan resistensi melalui karya kultural

Sebagai salah satu wujudnya, kemarin pada RAMPAK UJUNG GETHEKAN (RUG) 2019, lelaki lulusan Jurusan Teater STKW Surabaya ini menggelar pertunjukan teater publik dengan judul OTAK BATU. Pertunjukan yang dilakukan menyambut arak-arakan para pelaku seni dalam RUG 2019 ini merupakan karya kultural yang mengkritisi para birokrat budaya yang kurang punya kejelasan visi, tidak jelas kebijakannya, dan seringkali melakukan kongkalikong dengan pihak-pihak tertentu. Ini adalah pertunjukan kedua, setelah beberapa waktu lalu menggelar pertunjukan di tengah Kali Badadung

Ketidakjelasan birokrat budaya itulah yang ia hadirkan sebagai OTAK yang keras, tidak punya terobosan dan tidak punya keberpihakan kepada para seniman. Si OTAK BATU hanya tahu proyek budaya yang menguntungkan orang-orang yang mereka sukai. Padahal mereka punya tanggung jawab yang lebih luas. Akibatnya, mereka yang semestinya menjadi wilayah tanggung jawab harus berjuang, tertatih-tatih dengan tenaga dan pikiran sendiri. Meskipun demikian, para pejuang budaya yang dipuja dalam narasi para pemimpin Republik ini tetap berusaha mengembangkan budaya lokal, seberat apapun itu

Maka, melawan mereka yang ber-OTAK BATU harus dilakukan terus-menerus dengan berbagai macam cara, pemikiran dan gerakan. Para seniman harus menyatukan sikap agar bisa memperkuat solidaritas demi melakukan resistensi tiada henti kepada manusia-manusia ber-OTAK BATU. Karena ketika memilih diam, kondisi absurd itu tidak akan berubah dan tidak akan mengubah apa-apa. Perlawanan dengan bermacam cara harus dilakukan sampai ada perubahan sikap dan kebijakan. Tugas berat berikutnya adalah menjaga agar OTAK BATU tidak beranak-pihak atau melakukan regenerasi di tubuh birokrasi kebudayaan

Meskipun publik desa kurang paham maksud pertunjukan itu, setidaknya, Cimot mampu menghadirkan suasana berbeda yang membuat mereka tertarik untuk menonton. Awalnya warga kaget dan takut, tapi setelah menonton apa yang dilakukan CIMOT, mereka pun bisa menikmatinya. Setidaknya, warga desa punya ingatan publik tentang "batu yang keras" dan "orang-orang yang mengangkat batu". Setidaknya, para seniman muda tahu betapa berat perjuangan mereka ketika harus berhadapan dengan mereka yang ber-OTAK BATU tetapi tidak boleh kendur dalam melakukan perlawanan. Karya-karya kecil seperti OTAK BATU adalah sebentuk teater sebagai gerakan kultural yang mampu hadir di tengah publik sekaligus merespons dan mengkritisi ketidakberesan secara kreatif. Tentu saja ke depannya perlu dibuat narasi pengantar untuk penonton agar mereka setidaknya mengerti apa yang dimaksudkan

#RampakUjungGethekan #Wuluhan #Lojejer #Budayalokal #Jemberan #DeKaJe
Penulis Ikwan Setiawan
BERITA TERBARU