Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nasi Mempengaruhi Kinerja Otak?


Sigerindo - Bagi kita orang Indonesia, nasi adalah makanan utama yang tidak tergantikan. Walau sebenarnya konsumsi nasi sebagai sumber energi dapat digantikan dengan makanan lain dengan kandungan yang sama, tapi rasanya belum lengkap kalau belum makan nasi.

Padahal, menurut catatan sejarah, sebenarnya nasi bukanlah makanan asli Indonesia. Nasi diperkirakan mulai dikenal masyarakat di kawasan Nusantara sejak datangnya para pedagang dari India ke Indonesia beberapa abad silam.

Mengutip laman goodnewsfromindonesia.id, peneliti sagu Indonesia Prof. Nadirman Haska makanan asli Indonesia adalah sagu dan ketela, itu dibuktikan dengan pahatan di relief Candi Borobudur.

"Sagu itu makanan asli Indonesia. Itu terpahat jelas di relief Candi Borobudur. Saat kerajaan Hindu masuk, orang India bawa beras ke sini," kata Nadirman.

Beberapa abad setelah nasi mulai dikenal di Indonesia, sebenarnya nasi masih belum menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Sampai kemudian, Indonesia ikut mengaplikasikan revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1950-an hingga tahun 1980-an di beberapa banyak negara berkembang.
Lantas, apa yang mendasari suatu makanan disebut makanan pokok? jawabannya adalah kandungan karbohidrat yang tinggi. Sama halnya dengan nasi, ketela dan sagu juga merupakan sumber karbohidrat.

Prof. Sabirin Matsjeh, guru besar kimia Universitas Gajah Mada (UGM) dalam bukunya mengenai Kimia Organik (1994) menyebutkan bahwa karbohidrat di alam merupakan produk fotosintesis pada banyak tanaman, sehingga ketersediaan karbohidrat termasuk yang paling melimpah.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa Karbohidrat bagi tubuh merupakan sumber energi utama dan dapat memenuhi lebih dari 80 persen kebutuhan energi tubuh dengan glukosa (gula) sebagai unit terkecilnya.

Namun belakangan, konsumsi glukosa mulai dikaitkan dengan pengaruh negatifnya terhadap tubuh. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa konsumsi makanan dengan kandungan gula berupa glukosa dan sukrosa disebutkan dapat mengganggu fungsi kognitif.

Penelitian yang  telah dipublikasikan di Jurnal Physiologi and Behavior ini dilakukan dengan merekrut 49 peserta yang telah dibagi dan diacak dalam beberapa kelompok, kemudian peneliti memberikan minuman dengan kandungan gula berbeda yakni glukosa, sukrosa, sukralosa dan fruktosa.

Kemudian, peserta diberikan tes fungsi kognitif yang terdiri atas 3 jenis tes, yakni waktu respon sederhana, aritmatika dan stroop (Kemampuan memproses kata dan warna) dengan pertanyaan yang sama yang telah dirancang peneliti. Hasilnya, peserta yang mengonsumsi glukosa dan sukrosa lebih lambat 200 milidetik untuk menjawab pertanyaan.

Mei Peng, penulis utama penelitian tersebut dalam publikasinya menjelaskan, glukosa diserap darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Sementara sukrosa sebelum dimetabolisme tubuh akan dipecah dulu menjadi glukosa dan fruktosa. Untuk fruktosa, akan langsung dimetabolime oleh hati dan tidak melintasi sawar otak.

Meski demikian, peneliti menekankan bahwa penelitian tersebut hanya awal dari penelitian tentang gula dan pengaruhnya terhadap otak. Perlu ada penelitian lanjut yang sistematis menilai efeknya pada fungsi kognitif lainnya seperti memori.

Sementara itu, dr. Fiastuti Witjaksono, M.S., SpGK ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga merupakan Kepala Departemen Medik Ilmu Gizi RSU Cipto Mangunkusumo, sebenarnya ada 3 jenis gula yang dapat dijadikan sumber energi bagi tubuh yakni glukosa, sukrosa dan fruktosa.

Glukosa bisa didapatkan dari konsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat seperti nasi, sedangkan sukrosa terdapat pada gula yang terbuat dari tebu atau aren, sementara fruktosa adalah gula yang terdapat pada buah-buahan. Yang membedakannya di dalam tubuh hanyalah metabolismenya.

"Sukrosa adalah gula yg terdiri dari 1 molekul glukosa dan 1 molekul fruktosa. Walau glukosa dan fruktosa adalah monosakarida atau gula tunggal, tetapi untuk masuk kedalam sel, keduanya berbeda. Glukosa membutuhkan insulin sedangkan fruktosa tidak," jelas Fiastuti.

Terkait hal itu, Fiastuti menilai permasalahan pada konsumsi gula dengan kandungan glukosa justru ada pada hormon tubuh manusianya yang bisa saja mengalami masalah bukan pada otak.
Yakni, pada kondisi kadar glukosa tinggi meningkat, maka pankreas akan mengeluarkan insulin untuk dapat memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah hormon tubuh yang mengubah glukosa menjadi energi.

"Pada keadaan insulin kurang atau insulin tidak sensitif, glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga menyebabkan hiperglisemia atau kadar glukosa darah tinggi," katanya.

Sementara otak, lebih lanjut Fiastuti, merupakan organ yang hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi dan tidak dapat menggunakan lemak sebagai sumber energi.
"Diet sangat rendah karbohidrat justru dapat menyebabkan otak kekurangan glukosa sebagai sumber energi dan tidak bekerja dengan baik," kata Fiastuti.

Terlepas dari kontroversinya, harus diakui memang karbohidrat yang kita dapat dari nasi dan dimetabolisme tubuh menjadi glukosa, adalah sumber energi utama tubuh yang belum dapat dipungkiri. Hanya saja, apapun itu tentu segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi tidak baik.

(Ricky Jenihansen B)
BERITA TERBARU