Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Rekomendasikan Revisi UU Sisdiknas

Sigerindo Jogjakarta -Pemerintah serta DPR perlu segera merevisi UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, dan peraturan turunannya, yang inkonsisten dengan amanat konstitusi. Kemudian Pancasila wajib disajikan sebagai pelajaran atau mata kuliah definitif dalam setiap jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran Pancasila berdiri sendiri, tidak diintegrasikan dengan kewarganegaraan (PKn)

Demikian salah satu rekomendasi Kongres V Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Tahun 2021, yang diselenggarakan oleh Panitia Bersama Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan sejak tanggal 2-8 Mei 2021 secara virtual dengan hampir 2500 peserta secara nasional

Rekomendasi ketiga adalah Pembelajaran Pancasila mestinya dijaga dari intervensi kepentingan politik praktis, dan disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu atau kaidah
akademik. keempat, Politik pendidikan harus menyeimbangkan pendidikan karakter, intelektual, dan jasmani, serta peran trisentra pendidikan. Dan kelima perlu menambah guru/dosen Pancasila, dengan bekerjasama atau memfungsikan lembaga- lembaga yang memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan pendidikanpelatihan guru/dosen Pancasila

Ketua Tim Perumus, Prof. dr. Sutaryo, Sp.A(KP, mengatakan rekomendasi tersebut berdasarkan hasil kesimpulan sidang-sidang komisi, dengan kesimpulan, di putuskan di Yogyakarta, Sabtu 8 Mei 2021.

Kesimpulan dan rekomendasi kongres V pendidikan dan.pengajaran dan Kebudayaan dengan Tema “Pancasila dalam Sistem Pendidikan Nasional: Grand Design, Ancaman-Tantangan-Hambatan-Gangguan (ATHG), dan Konsepsi Implementasi”

"Setelah mencermati sambutan dari Inisiator Kongres, sambutan Rektor Universitas
Gadjah Mada, arahan Sri Sultan Hamengkubuwono X, presentasi dari para narasumber pra kongres dan kongres, sidang panel, sidang komisi, dan sidang pleno, maka dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi," kata Prof Sutaryo, melalui pres rilisnya, usai acara

Prof Sutaryo menjelaskan terdapat 7 kesimpulan hasil kongres yaitu:

1. Pancasila secara konsisten harus selalu ada di dalam segala peraturan perundangundangan,
termasuk dalam regulasi sistem pendidikan nasional. Sehingga, pendidikan sebagai misi mencerdaskan bangsa, sebagaimana amanat konstitusi, dapat berjalan dengan baik sebagaimana cita-cita kemerdekaan Negara Republik Indonesia

2. Pelaksanaan-penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus konsisten dan
kongruen (taat azas) dengan Pancasila dan UUD 1945.

3. Misi mencerdaskan bangsa, dalam pendidikan, hanya dapat tercapai jika ada
keselarasan praktek di 5 level. Presiden sebagai penginspirasi dan pengarah,
Menteri pengambil kebijakan, Kepala Daerah petunjuk kebijakan, Dinas
Pendidikan penyelaras, dan Guru pelaku-penerjemah. Pendidik harus mampu
menjadikan subyek didik menjadi manusia merdeka, seperti ajaran Ki Hadjar
Dewantara yang sekarang diadopsi dalam kredo Merdeka Belajar – Kampus
Merdeka

4. Pendidikan formal (PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi), informal
(keluarga), nonformal (masyarakat: media sosial, kegiatan keagamaan, social, budaya, Pramuka, PKK, kursus dan sebagainya), merupakan sarana terbaik dalam
menanamkan dan membudayakan Pancasila

5. Pendidikan karakter Pancasila dan kebudayaan Indonesia itu mestinya
diselenggarakan di keluarga, masyarakat dan sekolah. Terdapat disharmoni dan
ketimpangan diantara trisentra pendidikan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini
menjadi salah satu kelemahan dalam pembudayaan Pancasila. Relasi dan
komunikasi antar trisentra pendidikan kurang harmonis / kurang baik; titik tekan
pendidikan lebih terfokus pada pendidikan sekolah /formal.

6. Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh (jasmani), ketiganya
tidak boleh dipisahkan

7. Keterbatasan kualitas dan kuantitas Guru / dosen Pancasila secara nasional
menjadi kendala dalam proses pengajaran Pancasila.

:Kesimpulan dirangkum dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga, mengenai persepsi ideologi yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, terjadinya fenomena radikalisme-terorisme, jelas jelas mengancam

eksistensi bangsa Indonesia. Perlu penanganan khusus untuk kaum milenial, highlight transformasi social," tukasnya

Kondisi tersebut ditengarai sebagai akibat inkonsistensi dalam pengelolaan sistem
pendidikan nasional, yakni ketika Pancasila diletakkan sebagai dasar sistem
pendidikan nasional, tetapi justru tidak secara tegas ditetapkan sebagai mata pelajaran
wajib di segala jenjang pendidikan. Akibatnya, fungsi pendidikan (mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa) terganggu, tujuan pendidikan
(mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab)
terhambat, dan keberlangsungan sistem pendidikan nasional yang konsisten dan
kongruen dengan Pancasila dan konstitusi menjadi tidak jelas dan kemungkinan
akan terputus. Oleh karena Pancasila wajib diajarkan sejak PAUD, sekolah dasar
menengah, dan tinggi

Pendidikan merupakan salah satu media yang tepat untuk hal itu. Pancasila di satu
sisi menjadi dasar, arah, ruh, dan semangat sistem pendidikan nasional, di sisi lain
menjadi materi kajian yang diajarkan dalam proses pendidikan. Pancasila sebagai
dasar pengembangan ilmu, sekaligus sebagai ilmu yang harus dikembangkan

Pembelajaran Pancasila mestinya dijaga dari intervensi kepentingan politik praktis,
dan disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu atau kaidah akademik. Aparatur
Sipil Negara (ASN) di bidang pendidikan tidak boleh berpolitik praktis. Tidak
dibenarkan kepentingan politik menyusup pada pendidikan Pancasila. Memanfaatkan
perkumpulan guru-pendidik untuk kepentingan politik praksis/pemilu/pilkada.




Politisasi Pancasila untuk kepentingan praktis akan menjadi ancaman laten terhadap
Pancasila, dan akan berimbas pada penerapannya dalam Sistem Pendidikan Nasional. Untuk menuntaskan masalah krusial ini secara elegan, perdebatan tentang Pancasila hendaknya lebih ditekankan pada tataran praksis (How-to), bagaimana langkahlangkah untuk menjalankannya bagi kemaslahatan bangsa daripada perdebatan di
tataran filosofis (What-is). Perdebatan tentang Pancasila pada tataran praktis dalam
bidang pendidikan, bagaimana menjalankan Pancasila dalam sistem pendidikan
nasional

Yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dan dalam pengajaran Pancasila adalah menjaga konsistensi dan kongruensi (taat azaz) pelaksanaan aturan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila secara konsisten harus selalu ada di dalam segala peraturan perundangundangan,termasuk dalam regulasi sistem pendidikan nasional

"Kami juga melihat ancaman-tantangan-hambatan-gangguan (ATHG) Implementasi
Pancasila dan kebudayaan Indonesia dalam sistem pendidikan nasional.
Ancaman: ideologi transnasional (dari luar), kaum milenial yang tidak
mengenal Pancasila (dari dalam); ancaman laten.

Tantangan: konsep sistem pendidikan yang selalu berubah-ubah dimana ada 2
(dua) UU yang diberlakukan bersamaan; inkonsistensi huku-hilir norma
pendidikan

Hambatan: partai politik belum mampu menciptakan consensus bersama
secara jujur, Pancasila sebagai dasar negara alat pemersatu, landasan dalam
bermain politik; politisasi Pancasila untuk kepentingan kelompok

Gangguan: para pemimpin di bidang pendidikan justru tidak memahami arti Pancasila dalam sistem pendidikan nasional; faktor keteladanan

"Maka untuk mengembalikan Pancasila sebagai dasar sistem pendidikan nasional, seluruh peserta Kongres menyerukan agar perlu segera dilakukan Revisi UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional," ujar Ketua Tim Perumus.

Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dilaksanakan pada 2-8 Mei 2021 di Yogyakarta, luring (terbatas ketat) dan daring. Diawali Pra Kongres, Webinar Nasional pada 2-4 Mei dan Puncak Kongres V PP&K, 7-8 Mei, dilakukan di Balai Senat UGM. Kongres diikuti 2.401 peserta dari segala penjurutanah air, segala lapisan usia, dan para pemerhati pendidikan (Rilis)
BERITA TERBARU