Diduga "Kubur" Aduan Masyarakat: Kejati Sultra Berani Menggali Kebenaran, Atau Justru Ikut Menimbun Bukti di Bawah Meja?

Sigerindo Sultra Kendari - Di balik proyek jalan miliaran rupiah, aroma permainan kotor menyeruak. Laporan masyarakat tentang dugaan salah bayar ganti rugi lahan pembangunan Jalan Budi Utomo Baru atau Jalan 40 yang menghubungkan Jalan P2ID hingga Kelurahan Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu terancam lenyap di meja Kejaksaan

Laporan resmi itu masuk ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) pada 16 Mei 2024. Menurut pengakuan Kejati, berkas telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kendari pada 12 Juli 2024. Namun, fakta di lapangan menampar logika: pelapor tak pernah menerima surat pemberitahuan, dan bagian PTSP Kejari Kendari justru mengaku tidak pernah menemukan dokumen pelimpahan tersebut

“Kalau kami tidak terus mengecek, laporan ini bisa saja dipeti-eskan. Kami hanya ingin kasus ini ditangani profesional, transparan, dan sesuai prosedur hukum,” ujar pelapor yang meminta identitasnya disembunyikan

Proyek jalan poros P2ID–Abeli Dalam sepanjang 5–6 kilometer dengan anggaran Rp6 miliar dari APBD 2014 ini ternyata menyimpan cacat fatal dalam proses pembebasan lahannya

Pemerintah Kota Kendari disebut membayar ganti rugi kepada pihak yang dokumen tanahnya tidak valid, bahkan masih bersengketa

"Ini bukan sekadar aneh, tapi janggal luar biasa. Pemkot Kendari membayar kepada orang dengan surat tanah yang tidak sah. Sulit dipercaya ini murni kelalaian. Ada indikasi kuat permainan busuk antara oknum Pemkot dan penerima yang tidak berhak," ungkap pelapor

Masyarakat mendesak Kejati Sultra untuk berhenti bermain aman:
1. Pertahankan independensi penegakan hukum, jangan jadi alat pembungkam kebenaran.
2. Seret dan periksa semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu.
3. Jalankan proses sesuai hukum, demi keadilan bagi pihak yang menjadi korban kesewenang - wenangan

Tempat terpisah, Ketua Lembaga Pemerhati Masyarakat Sulawesi Tenggara (LPM Sultra), Ados Nuklir, menilai ini sebagai indikasi serius lemahnya tata kelola persuratan di dua institusi penegak hukum tersebut. Menurutnya, setiap pelimpahan perkara wajib disertai surat resmi dengan nomor, tanggal, dan tanda tangan pejabat berwenang, serta pemberitahuan tertulis kepada pelapor

LPM Sultra menuntut Kejati Sultra dan Kejari Kendari segera membuka dokumen pelimpahan perkara, melakukan audit internal tata kelola persuratan, dan meminta Ombudsman RI Perwakilan Sultra turun tangan memeriksa dugaan maladministrasi

"Administrasi dan persuratan bukan sekadar formalitas. Setiap penyimpangan bisa menjadi celah untuk menghilangkan jejak penanganan perkara dan melemahkan penegakan hukum. Publik berhak tahu: ini kelalaian atau kesengajaan?" tegas Ados

Jika Kejaksaan memilih diam, publik hanya akan menilai satu hal: lembaga penegak hukum ikut menjaga “kuburan” perkara ini. Proyek ini menelan uang rakyat, dan jika uang itu jatuh ke tangan yang salah, maka yang dikubur bukan hanya laporan, tetapi juga kepercayaan publik kepada hukum

Pertanyaannya kini: apakah Kejati Sultra berani menggali kebenaran, atau justru ikut menimbun bukti di bawah meja? (**)