Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Presiden Jokowi Buka Muktamar Ke 34 NU di Pondok Pesantren Darussa'adah, Provinsi Lampung Lampung

Sigerindo Lampung Tengah - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo membuka Muktamar ke-34 Nahdatul Ulama di Pondok Pesantren Darussa'adah, Gunung Sugih, Lampung Tengah, Rabu (22/12/2021). Dalam sambutannya, presiden menyampaikan terima kasih atas peran NU dalam mengawal kebhinekaan di Tanah Air.

"Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, pada pagi hari ini saya secara resmi membuka muktamar ke-34 NU," ujar Jokowi dipantau dari tayangan siaran langsung YouTube Sekretariat Presiden.

"Saya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada NU yang terus mengawal kebangsaan, mengawal toleransi, kemajemukan, mengawal Pancasila, mengawal UUD 1945, mengawal kebhinnekaan kita ujar Presiden Joko Widodo

Selain itu, NU juga membantu dalam mengawal NKRI dalam menjaga dan merawat bangsa dan negara. Di masa pandemi Covid-19, NU juga berperan dalam membantu pemerintah. Utamanya dalam menenangkan masyarakat dalam menghadapi pandemi. "Atas nama pemerintah, masyarakat, anegara saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada NU yang telah membantu pemerintah dalam menenangkan umat, masyarakat di masa pandemi ini," tutur Jokowi

"Juga terima kasih untuk NU yang telah mengajak masyarakat menaati protokol kesehatan dan mengajak masyarakat untuk berbondong-bondong dalam progoram vaksinasi. Ini saya rasakan betul," tambahnya.

Muktamar ke-34 NU ini digelar selama dua hari, yakni 22 - 23 Desember 2021 di empat lokasi di Lampung Tengah dan Bandar Lampung.

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar saat menyampaikan Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 NU menegaskan, bahwa warga Nahdliyin harus menjadi umat Muslim yang memiliki karakter mandiri. Bersikap plin-plan hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang mudah terombang-ambing dan terpecah belah, sehingga rawan dirongrong oleh kelompok lalin yang tidak seideologi
“Kader Nahdlatul Ulama harus mampu menunjukkan kepribadian dan semangat menuju kebaikan serta menjaga idealisme dan kemandirian dalam bersikap. Ikut-ikutan orang lain dan menjadi latah, hanya akan membuat kita terpecah belah, terombang-ambing dan menjadi bulan-bulanan,” katanya.

Mendasari paparannya, kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu mengutip salah satu hadits Nabi yang artinya, ‘Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan dan latah. Kalian mengatakan, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami juga ikut baik. Dan jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut zalim’. Namun, mantapkanlah jiwa kalian; jika masyarakat berbuat baik, kalian tetap melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan, maka jangan ikut berbuat zalim.

Lebin lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachussunnah, Surabaya itu memaparkan, jika NU mudah terombang-ambing, maka berikutnya organisasi masyarakat terbesar ini akan mudah dipecah belah. Sebab, jika hati seseorang telah berselisih dan hawa dipermainkan oleh nafsu, perilaku seseorang tidak akan mengarah pada kemaslahatan lagi dan cenderung bersikap egois.

“Mereka (yang terpecah belah) tidak akan menjadi bangsa yang bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan mereka saling selisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda,” ujar Kiai Miftach.

Selanjutnya, Kiai Miftach mengutip salah satu nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang berbunyi, ‘Dengan perpecahan, tidak ada satu kebaikan yang akan dianugerahkan Allah kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.’

Menurutnya, kekuatan jamiyah NU sebenarnya sangat luar biasa. Namun selama ini masih banyak warganya yang hanya memposisikan diri sebagai jamaah. Padahal, lanjutnya, dirinya belum ber-jamiyah.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, bahwa NU berdiri sebagai jawaban atas setiap persoalan dan tantangan zaman. Kedua hal itu dijawab oleh kiai-kiai NU karena Islam memiliki posisi untuk menciptakan warna di tengah kelamnya perkembangan zaman pada saat itu.

“Islam harus terlibat memberi warna pada zaman yang tak menentu, mencari-cari cara agar cahaya Allah terlihat dan tak padam oleh kekufuran. Pada saat itulah para kiai terpanggil menjawab setiap tantangan pergolakan zaman itu lewat sudut pandang agama,” katanya saat menyampaikan sambutan di acara pembukaan Muktamar ke-34 NU.

Kemudian, pada tataran global, dunia kembali dihadapkan dengan berbagai persoalan, mulai dari perang dunia pertama, sistem monarki, hingga gelombang radikalisme. “Pada tataran global, Perang Dunia Pertama baru saja usai, sistem monarki berbasis agama mulai terasa tak memadai, dan gelombang Wahabisasi sebagai embrio radikalisme berkibar dari Hijaz,” tutur terang kiai kelahiran Cirebon, 3 Juli 1953 itu.

Bersamaan dengan hal tersebut, patriotisme di Nusantara menurutnya sudah menemukan wujudnya, untuk melawan penjajahan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Era itu dikenal sebagai kebangkitan nasional. “Di era itu, NU sebagai jam’iyyah sepenuhnya lahir dari transformasi praktik kemandirian jama’ah, yakni kemandirian komunitas pesantren yang selama berabad-abad bertahan hidup dalam tekanan kolonialisme,” ungkap alumnus Universitas Umm Al-Qura Mekkah, Saudi Arabia itu tukasnya

Turut mendampingi presiden ialah Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Militer Presiden Marsda TNI M Tonny Harjono, Komandan Paspampres Mayjen TNI Tri Budi Utomo, serta Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin serta Gubernur Provinsi Lampung Arinal Djunaidi (Redaksi)
BERITA TERBARU