Di Balik Proyek Jalan Pemkot Kendari: Kisah Hasan dan Dugaan Persekongkolan Mafia Tanah
Sigerindo Sultra Kendari -- Pemerintah berulang kali menyuarakan komitmen memberantas praktik mafia tanah sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat
Namun di lapangan, kenyataan sering kali jauh dari harapan. Penindakan hukum lebih sering menyasar kasus bernilai besar yang melibatkan pengusaha besar, sementara masyarakat kecil justru dibiarkan menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi
Salah satu contoh nyata datang dari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Hasan, warga Kelurahan Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu, mengaku menjadi korban dugaan perampasan tanah secara sistematis dan masif. Tanah miliknya seluas kurang dari satu hektare, yang sudah bersertifikat dan memiliki legalitas sah, tiba-tiba diklaim oleh seseorang bernama Ny. Satia sejak tahun 2013
"Tanah saya tiba-tiba diklaim oleh Ny. Satia dengan dasar dokumen lama yang diterbitkan tahun 1972 di Desa Lepo-lepo. Padahal tanah yang diklaim itu berada di Abeli Dalam, lokasinya jauh berbeda," ujar Hasan saat ditemui
Hasan mempertanyakan keabsahan dokumen tersebut. Ia menyebut surat keterangan tanah yang dijadikan dasar klaim tidak mencantumkan saksi-saksi sebagaimana lazimnya surat tanah, dan batas-batas wilayah yang tertulis tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
"Lucu sekali. Dalam surat itu, batas timur tanah adalah milik Tokinggi, padahal sebenarnya tanah Tokinggi ada di sebelah barat. Ini jelas-jelas tidak sesuai fakta," tambahnya
Hasan menuturkan, polemik tersebut bermula ketika Pemerintah Kota Kendari memulai proyek pembangunan Jalan Budi Utomo Baru atau yang dikenal Jalan 40 pada 2013. Warga diminta segera mengurus legalitas kepemilikan tanah yang terdampak pembangunan
Namun, bersamaan dengan itu, muncul klaim dari Ny. Satia. Anehnya, pada 2014 pemerintah justru melakukan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan kepada pihak Ny. Satia, meskipun status kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan
"Lahan saya belum tuntas polemiknya, tapi sudah dibayar ke pihak yang mengklaim. Bahkan katanya sisa tanah itu dijual ke Walikota saat itu, Ir. Asrun, melalui perusahaan PT Kendari Baruga Pratama," jelas Hasan
Kasus ini pun berlanjut hingga tahun 2022. Dalam sebuah rapat mediasi yang difasilitasi kelurahan, tiba-tiba muncul selembar surat pernyataan pembatalan atas surat tanah milik Hasan. Surat tersebut disebut dibuat oleh mantan lurah setempat, Yunus, pada tahun 2015, namun baru “ditemukan” setelah Yunus meninggal dunia pada 2019
"Yang bawa surat itu bukan orang kelurahan, bukan penyidik. Mereka orang tak dikenal, tapi bisa menunjukkan dokumen yang katanya membatalkan surat tanah saya. Saya sendiri tidak pernah diberitahu, apalagi diberi salinan. Ini aneh dan janggal," tegasnya
Tak hanya itu, Hasan pun dilaporkan oleh Direktur PT Kendari Baruga Pratama, Asrizal Pratama Putra, ke Polda Sultra atas dugaan pengrusakan tanaman dan memasuki pekarangan tanpa izin. Bahkan, Ir. Asrun ikut melaporkan Hasan atas dugaan pemalsuan surat dan pengrusakan
"Ini sudah seperti permainan yang terstruktur. Saya dilaporkan karena memperjuangkan hak saya sendiri. Anehnya lagi, penyidik langsung menetapkan saya sebagai tersangka hanya berdasarkan surat yang dibawa OTK (orang tak dikenal)," keluhnya
Menurut Hasan, pembatalan surat tanah seharusnya hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan, bukan melalui surat sepihak. Ia menuding ada dugaan persekongkolan mafia tanah yang bermain dalam kasus ini dan mendesak Kejaksaan serta Mabes Polri turun tangan
"Penyidik bertindak tidak profesional. Saya sudah lapor balik, tapi laporan saya malah ditangguhkan. Dimana keadilan bagi rakyat kecil," ujarnya dengan nada kecewa
Kasus Hasan mencerminkan potret buram penegakan hukum dalam konflik agraria yang melibatkan masyarakat kecil. Ketimpangan dalam perlakuan hukum dan kemudahan akses terhadap lembaga penegak hukum tampak menjadi masalah laten
Rangkaian Kronologi Kasus Hasan
• 2013: Pemkot Kendari mengumumkan pembangunan Jalan 40. Warga diminta mengurus surat kepemilikan lahan.
• 2013: Ny. Satia mengklaim lahan Hasan berdasarkan dokumen lama dari Desa Lepo-lepo, terbit tahun 1972.
• 2014: Pemkot Kendari melakukan pembayaran pembebasan lahan kepada Ny. Satia meskipun lahan masih disengketakan.
• 2014: Ny. Satia menjual sisa lahan kepada Ir. Asrun, Walikota Kendari saat itu dan Direktur PT Kendari Baruga Pratama.
• 2022: Mediasi dilakukan di Kantor Lurah Abeli Dalam, muncul surat pembatalan surat tanah Hasan yang dibawa OTK.
• 7 Januari 2022: Asrizal Pratama Putra melaporkan Hasan ke Polda Sultra.
• 28 Februari 2022: Ir. Asrun ikut melaporkan Hasan atas dugaan pemalsuan dokumen.
• 19 April 2022: Hasan melaporkan balik Ir. Asrun dan Asrizal ke Polda Sultra.
• 3 Juni 2024: Laporan Hasan ditangguhkan oleh Polresta Kendari.
• Agustus 2022: Hasan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan dokumen tersebut (*)
Namun di lapangan, kenyataan sering kali jauh dari harapan. Penindakan hukum lebih sering menyasar kasus bernilai besar yang melibatkan pengusaha besar, sementara masyarakat kecil justru dibiarkan menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi
Salah satu contoh nyata datang dari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Hasan, warga Kelurahan Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu, mengaku menjadi korban dugaan perampasan tanah secara sistematis dan masif. Tanah miliknya seluas kurang dari satu hektare, yang sudah bersertifikat dan memiliki legalitas sah, tiba-tiba diklaim oleh seseorang bernama Ny. Satia sejak tahun 2013
"Tanah saya tiba-tiba diklaim oleh Ny. Satia dengan dasar dokumen lama yang diterbitkan tahun 1972 di Desa Lepo-lepo. Padahal tanah yang diklaim itu berada di Abeli Dalam, lokasinya jauh berbeda," ujar Hasan saat ditemui
Hasan mempertanyakan keabsahan dokumen tersebut. Ia menyebut surat keterangan tanah yang dijadikan dasar klaim tidak mencantumkan saksi-saksi sebagaimana lazimnya surat tanah, dan batas-batas wilayah yang tertulis tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
"Lucu sekali. Dalam surat itu, batas timur tanah adalah milik Tokinggi, padahal sebenarnya tanah Tokinggi ada di sebelah barat. Ini jelas-jelas tidak sesuai fakta," tambahnya
Hasan menuturkan, polemik tersebut bermula ketika Pemerintah Kota Kendari memulai proyek pembangunan Jalan Budi Utomo Baru atau yang dikenal Jalan 40 pada 2013. Warga diminta segera mengurus legalitas kepemilikan tanah yang terdampak pembangunan
Namun, bersamaan dengan itu, muncul klaim dari Ny. Satia. Anehnya, pada 2014 pemerintah justru melakukan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan kepada pihak Ny. Satia, meskipun status kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan
"Lahan saya belum tuntas polemiknya, tapi sudah dibayar ke pihak yang mengklaim. Bahkan katanya sisa tanah itu dijual ke Walikota saat itu, Ir. Asrun, melalui perusahaan PT Kendari Baruga Pratama," jelas Hasan
Kasus ini pun berlanjut hingga tahun 2022. Dalam sebuah rapat mediasi yang difasilitasi kelurahan, tiba-tiba muncul selembar surat pernyataan pembatalan atas surat tanah milik Hasan. Surat tersebut disebut dibuat oleh mantan lurah setempat, Yunus, pada tahun 2015, namun baru “ditemukan” setelah Yunus meninggal dunia pada 2019
"Yang bawa surat itu bukan orang kelurahan, bukan penyidik. Mereka orang tak dikenal, tapi bisa menunjukkan dokumen yang katanya membatalkan surat tanah saya. Saya sendiri tidak pernah diberitahu, apalagi diberi salinan. Ini aneh dan janggal," tegasnya
Tak hanya itu, Hasan pun dilaporkan oleh Direktur PT Kendari Baruga Pratama, Asrizal Pratama Putra, ke Polda Sultra atas dugaan pengrusakan tanaman dan memasuki pekarangan tanpa izin. Bahkan, Ir. Asrun ikut melaporkan Hasan atas dugaan pemalsuan surat dan pengrusakan
"Ini sudah seperti permainan yang terstruktur. Saya dilaporkan karena memperjuangkan hak saya sendiri. Anehnya lagi, penyidik langsung menetapkan saya sebagai tersangka hanya berdasarkan surat yang dibawa OTK (orang tak dikenal)," keluhnya
Menurut Hasan, pembatalan surat tanah seharusnya hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan, bukan melalui surat sepihak. Ia menuding ada dugaan persekongkolan mafia tanah yang bermain dalam kasus ini dan mendesak Kejaksaan serta Mabes Polri turun tangan
"Penyidik bertindak tidak profesional. Saya sudah lapor balik, tapi laporan saya malah ditangguhkan. Dimana keadilan bagi rakyat kecil," ujarnya dengan nada kecewa
Kasus Hasan mencerminkan potret buram penegakan hukum dalam konflik agraria yang melibatkan masyarakat kecil. Ketimpangan dalam perlakuan hukum dan kemudahan akses terhadap lembaga penegak hukum tampak menjadi masalah laten
Rangkaian Kronologi Kasus Hasan
• 2013: Pemkot Kendari mengumumkan pembangunan Jalan 40. Warga diminta mengurus surat kepemilikan lahan.
• 2013: Ny. Satia mengklaim lahan Hasan berdasarkan dokumen lama dari Desa Lepo-lepo, terbit tahun 1972.
• 2014: Pemkot Kendari melakukan pembayaran pembebasan lahan kepada Ny. Satia meskipun lahan masih disengketakan.
• 2014: Ny. Satia menjual sisa lahan kepada Ir. Asrun, Walikota Kendari saat itu dan Direktur PT Kendari Baruga Pratama.
• 2022: Mediasi dilakukan di Kantor Lurah Abeli Dalam, muncul surat pembatalan surat tanah Hasan yang dibawa OTK.
• 7 Januari 2022: Asrizal Pratama Putra melaporkan Hasan ke Polda Sultra.
• 28 Februari 2022: Ir. Asrun ikut melaporkan Hasan atas dugaan pemalsuan dokumen.
• 19 April 2022: Hasan melaporkan balik Ir. Asrun dan Asrizal ke Polda Sultra.
• 3 Juni 2024: Laporan Hasan ditangguhkan oleh Polresta Kendari.
• Agustus 2022: Hasan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan dokumen tersebut (*)