Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

(OPINI) Pengembangan 1.000 Desa Sapi, Efektifkah? Penulis drh. Arsyad (Kepala Dinas Peternakan Lampung Selatan) dan drh. Lela Nurlaela (Medik Veteriner pada Disnakeswan Provinsi Lampung)


Bandar Lampung, Sigerindo--Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga. Untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi pangan dalam negeri.
Dalam operasionalnya, konsep kemandirian diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan nasional minimal 90 % dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana, 2004). Sedangkan menurut Yusdja dan Ilham (2006), industri peternakan yang ketergantungannya tinggi dengan bahan baku dan teknologi impor memiliki resiko tinggi. Ketergantungan pada impor untuk memenuhi konsumsi domestik dapat melemahkan upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika dan Ditjen Nakeswan Tahun 2019, kebutuhan daging sekira 683,29 ribu ton, produksi 404,59 ton, konsumsi 2,56 kk/kapita/ tahun dan jumlah penduduk 267 juta. Jika kebutuhan dikurangi produksi maka akan mengalami defisit daging sebesar 278,79 ribu ton ( 40,79%) atau setara dengan 1,24 juta ekor.
Untuk itu pada tahun 2020-2024 dalam rangka akselerasi peningkatan populasi sapi sebagai produk andalan negeri dan pemenuhan kecukupan protein hewani dibuatlah Permentan No 17 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Produksi Sapi dan Kerbau komoditas andalan negeri ( sikomandan).
Selanjutnya berdasarkan surat perintah Menteri Pertanian Nomor 129/KP.410/M/8/2020 tanggal 19 Agustus 2020, Ditjen PKH diberikan instruksi untuk melaksanakan program dan kegiatan pengembangan 1000 desa sapi dengan integrasi sapi bakalan dan sapi indukan dalam rangka pengembangan kawasan peternakan berbasis korporasi petani.

Namun, program pengembangan sapi di Indonesia sampai sekarang belum ada yang benar-benar sukses dalam mengurangi import ternak. Sebelumnya kebijakan swasembada daging sudah lama dicanangkan, yang pertama tahun 2005 dan selanjutnya terus dicanangkan dengan berbagai nama program / kegiatan seperti gerbang serba bisa, siwab, dan sekarang sikomandan/ sridepi sesuai visi misi kementan/ditjen pkh. Hasilnya....?

Identifikasi masalah
Kita tahu, sejak zaman orde baru telah dicanangkan berbagai program pengembangan peternakan sapi, termasuk dengan mendirikan perusahaan feedloter dengan mengimpor sapi. Kebijakan ini diharapkan sapi rakyat tidak dipotong dan bisa berkembang dengan baik. Namun harapan itu tinggal harapan. Feedloter hanya fokus pada penggemukan dengan mendatangkan sapi bakalan saja.
Sementara sapi rakyat dengan kepemilikan yang relatif kecil dibiarkan berkembang secara alami, dan baru disentuh dengan teklonogi IB baru dimulai secara massal beberapa tahun terakhir termasuk teknologi embryo transfer yang masih terbatas.
Penulis ingin fokus membahas tentang perkembangbiakan sapi rakyat. Menurut penulis, pembangunan peternakan belum mampu menggerakkan peternak rakyat menuju level usaha agribisnis. Salah satu penyebabnya belum optimalnya pemanfaatan dana KUR pada subsektor peternakan. Di pihak lain komoditas ternak yang lain seperti unggas sudah overload dan malah ada kebijakan cutting embryo agar jumlah unggas terkendali, begitu juga dengan aneka ternak yang belum dilirik dalam kebijakannya.
Kita tahu, ternak sapi ini termasuk ternak ruminansia yg reproduksinya hanya beranak tunggal dan calving interval yang cukup lama ( 14-18 bulan). Lalu kebayanglah dampak kegiatan cukup lama baru bisa merasakan output atau outcome. Pertanyaanya bagaimana dengan manajemen sapi rakyat ini, yang kita tahu kepemilikannya minim hanya 1-3 ekor.?

Managemen sapi rakyat
Usaha yang menguntungkan secara agribisnis pada ternak sapi adalah dengan penggemukan (feedloter) dibandingkan dengan usaha pembibitan (breeding). Maka tidak heran banyak perusahaan penggemukan yang tersebar di Indonesia, khususnya di Lampung hampir 60% perusahaan feedloter ini berada. Sapi bakalan yang digemukkan rata-rata berasal dari sapi Brahman Cross asal Australia. Lalu bagaimana dengan sapi bakalan yang bersumber dari rakyat atau lebih dikenal dengan sapi lokal? Dari sinilah permasalahan yang tidak pernah terselesaikan dalam pembangunan peternakan di Indonesia sampai saat ini. Sehingga pencanangan swasembada daging belum pernah terwujud. Untuk itu perlu ada terobosan program agar ketergantungan impor ini harus dikurangi.
Kegiatan seribu desa sapi (sridepi) yang dibungkus dalam program si komandan (sapi kerbau komoditas andalan negeri), adalah salah satu jawaban. Pertanyaannya bagaimana dengan keuangan negara untuk membeli sapi 1000 ekor perdesa sebanyak 1000 desa. Dan sapinya ada dimana....?? Kegiatan ini sudah dimulai tahun 2020 pada 25 desa pada 5 kabupaten dan 5 provinsi se Indonesia, dan masih jauh dari target untuk mencapai 1000 desa. Berhubung keuangan negara yang terbatas, maka diperlukan perbaikan sistem dalam menyempurnakan progran sridepi ini ke depan.
Usaha pembibitan sapi rakyat merupakan alternatif yang utama dalam meningkatkan populasi ternak sapi. Untuk bisa mencapai skala agribisnis, maka diperlukan gabungan usaha feedloter dan breeding dan dari sinilah diperlukan perubahan paradigma pada level peternak yaitu usaha dalam bentuk korporasi yang berada dalam suatu kawasan (kluster). Selain itu peternak harus berorientasi agribisnis, sehingga mulai dari penyediaan sapras , sapi dan lain-lain harus disediakan oleh mereka. Lalu dari mana sumber uang untuk usahanya...?? Dari sinilah insentif pemerintah itu hadir dalam bentuk program KUR dan pembinaan lainya seperti pasar ketersediaan ternak, kelembagaan dan lain-lain.
Lokasi yang dijadikan kegiatan sridepi ini harus benar-benar lokasi yang sudah diseleksi ketat untuk memenuhi syarat sebuah kawasan korporasi dan didukung kelembagaan peternakan seperti dinas peternakan dan kesehatan hewan kabupaten, puskeswan, lembaga pelatihan, perguruan tinggi dan lain-lain.

Kegiatan sridepi ini salah satu terobosan yang bagus, namun jangan sampai berhenti ditengan jalan karena keterbatasan anggaran. Untuk itu kita dorong pemanfaatan KUR atau bantuan CSR untuk menyiapkan peternak agar terbiasa berhubungan dengan lembaga keuangan, agar ketersediaan sapi bakalan ini bisa dipenuhi sendiri oleh Indonesia ke depan....masalah target swasembada daging yang suka dijanjikan, rasanya kalau masalah mendasar ini belum dilakukan, sebaiknya ditinjau kembali...
BERITA TERBARU